Diam adalah caraku mencintaimu karena-Nya.
Kulakukan untuk menjaga kesucian hatiku dan hatimu karena memang terjaganya
kesucianku dan kesucianmu adalah tujuanku.
Ini adalah caraku mengasihimu karena-Nya. Kulakukan untuk memelihara suatu
kehormatan, karena memang terpeliharanya kehormatanku dan kehormatanmu adalah
cita-citaku.
Rabu, 14 November 2012
"?/ R-E-N-U-NG-KAN
Sore itu sembari menunggu kedatangan teman yang
akan menjemputku di masjid ini seusai ashar. Kulihat seseorang yang berpakaian
rapi, berjilbab dan tertutup sedang duduk disamping masjid. Kelihatannya ia
sedang menunggu seseorang juga. Aku mencoba menegurnya dan duduk disampingnya,
mengucapkan salam, sembari berkenalan. Dan akhirnya pembicaraan sampai pula
pada pertanyaan itu. “Anti sudah menikah?”. “Belum ”, jawabku datar. Kemudian
wanita berjubah panjang (Akhwat) itu bertanya lagi “kenapa?” Pertanyaan yang
hanya bisa ku jawab dengan senyuman. Ingin kujawab karena masih hendak
melanjutkan pendidikan, tapi rasanya itu bukan alasan. “Mbak menunggu siapa?”
aku mencoba bertanya. “Menunggu suami” jawabnya pendek. Aku melihat kesamping
kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa
isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir.
Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya “Mbak kerja di mana?” Entah keyakinan
apa yang membuatku demikian yakin jika mbak ini memang seorang wanita pekerja,
padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai
ibu rumah tangga. “Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi”
jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan
hati. “Kenapa?” tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah
PINTU AWAL kita wanita karir yang bisa membuat kita lebih hormat pada suami”
jawabnya tegas. Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia
hanya tersenyum. Saudariku, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini
bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah hanya
ingin didatangi oleh laki-laki yang baik-baik dan sholeh saja. “Saya bekerja di
kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7 juta/bulan.
Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari dan es cendol di
siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya
saya menangis karena merasa durhaka padanya. Kamu tahu kenapa ? Waktu itu jam 7
malam, suami saya menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore
jam 3 sudah pulang. Setibanya dirumah, mungkin hanya istirahat yang terlintas
dibenak kami wanita karir. Ya, Saya akui saya sungguh capek sekali ukhty. Dan
kebetulan saat itu suami juga bilang jika dia masuk angin dan kepalanya pusing.
Celakanya rasa pusing itu juga menyerang saya. Berbeda dengan saya, suami saya
hanya minta diambilkan air putih untuk minum, tapi saya malah berkata, “abi,
umi pusing nih, ambil sendiri lah !!”. Pusing membuat saya tertidur hingga lupa
sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah
pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur
dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci.
Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya (kami memang berkomitmen
untuk tidak memiliki khodimah)? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi
malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba
mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas
sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya
teringat perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan
air putih saja saya membantahnya. Air mata ini menetes, air mata karena telah
melupakan hak-hak suami saya.” Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan
semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata
yang di usapnya. “Kamu tahu berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan
gaji saya. Sekitar 600-700 rb/bulan. Sepersepuluh dari gaji saya sebulan. Malam
itu saya benar-benar merasa sangat durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang
saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami
selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya dengan ikhlas dari lubuk hatinya.
Setiap kali memberikan hasil jualannya, ia selalu berkata “Umi, ini ada titipan
rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak
jumlahnya, mudah-mudahan Umi ridho”, begitulah katanya. Saat itu saya baru
merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong dan
durhaka pada nafkah yang diberikan suami saya, dan saya yakin hampir tidak ada
wanita karir yang selamat dari fitnah ini” “Alhamdulillah saya sekarang
memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih
bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu sering begitu susah
jika tanpa harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya"
Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara. “Beberapa hari
yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini.
Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya justru tidak ada yang
mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Sesuai dugaan saya, mereka malah
membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan yang lain.” Aku masih
terdiam, bisu mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia?
Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan. “Kak,
bukankah kita harus memikirkan masa depan ? Kita kerja juga kan untuk anak-anak
kita kak. Biaya hidup sekarang ini mahal. Begitu banyak orang yang butuh
pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun
penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita
santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah
tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat
melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama
orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak
yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya
suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh
saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya
suami kakak itu”. Ceritanya kembali mengalir, menceritakan ucapan adik
perempuannya saat dimintai pendapat. “anti tau, saya hanya bisa menangis saat
itu. Saya menangis bukan karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, Demi
Allah bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya sudah DIPANDANG
RENDAH olehnya. Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami
saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia ? Bagaimana
mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud
dimalam hari ? Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata
lembutnya selalu menenangkan hati saya ? Bagaimana mungkin dia menghina orang
yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu
orang tersebut belum mempunyai pekerjaan ? Bagaimana mungkin seseorang yang
begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah
pekerjaaan ? Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang
membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan
berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya
juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Saya
berharap dengan begitu saya tak lagi membantah perintah suami saya.
Mudah-mudahan saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga dengan
pekerjaan suami saya ukhty, sangat bangga, bahkan begitu menghormati
pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan seperti
itu. Disaat kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada
melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tetapi suami saya, tak ada rasa malu
baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat
saya begitu bangga pada suami saya. Suatu saat jika anti mendapatkan suami
seperti suami saya, anti tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami
anti pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya,
berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari
rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil
tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkanku. Kulihat dari kejauhan seorang
laki-laki dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya
ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan
salam, wanita itu meninggalkanku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri
yang begitu ridho. Ya Allah…. Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku
dapat pelajaran paling berkesan dalam hidupku. Pelajaran yang membuatku
menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam
benakku..Subhanallah..Walhamdulillah..Wa Laa ilaaha illallah...Allahu Akbar
Semoga pekerjaan, harta dan kekayaan tak pernah menghalangimu untuk tidak
menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya. 14/11/12
Langganan:
Postingan (Atom)